2
Makalah Hukum Islam Pada Masa Keemasan Dinasti Abasiyah
Makalah Biografi dan Dasar Pemikiran Imam Madzhab- Para Imam, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, ja’fariyah, Dzahiriyah, pemimpin dari mazhab hukum islam, telah berikan curahan yang besar bagi tatanan Hukum Islam. Tak berarti bahwa mereka ingin mengubah jiwa al-Qur’an, tidak pula Sunnah nabi SAW sebagaimana yang telah dituduhkan oleh orang-orang bukan Muslim dan bahkan sarjana Muslim yang telah “tercuci otaknya”. Bila orang mempelajari dengan mendalam “Fiqh” dari keempat mazhab itu, maka ia tak akan pernah menemuiperbedaan pendapat apapun sejauh ia memperhatikan prinsip-prinsip dasar Islam.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Latar Belakang Kehidupan dan Sosial Kultural Imam Madzhab?
  2. Bagaimana dasar-dasar pemikiran masing-masing mazhab? 

Tujuan Penulisan Makalah

  1. Memahami latar belakang kehidupan dan sosial kulktural Imam Mazhab.
  2. Memahami dasar-dasar pemikiran masing-masing madzhab.

A. Latar Belakang Kehidupan dan Sosial Kultural Imam Madzhab


1. Biografi Imam Abu Hanifah

Madzhab Hanafi pertama kali didirikan oleh Nu’man bin Tsabit bin Inta bin Mah, seorang Sarjana Ajam (bukan Arab) yang lebih di kenal dengan kumyahnya “Imam Abu Hanifah” (wafat tahun 150 H) di Kufah, Iraq.[1]

a. Awal kehidupanyaImam Abu Hanifah

Imam Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah termasuk orang shaleh dari masa Tabiin, Sejarawan Baghdad terkenal, chatib, berkuasa bahwa Abu Hanifah di lahirkan pada tahun 80 H. ayahnya, Tsabit, pernah menghadap khalifah Ali agar berdoa baginya dan keluarganya. Abu Hanifah merupakan salah seorang Tabi’in, karena dia cukup beruntung dapat menyaksikan masa saat beberapa Sahabat masih hidup sampai usia mudanya. Beberapa diantaranya mereka yang patut dicatat adalah Anas bin Malik (wafat tahun 93 H) pembantu Nabi SAW, Sahal bin Sa’ad (wafat tahun 91 H), Sedangkan Abu Thubail Amir bin Warsilah (wafat tahun 100 H), ketika Abu Hanifah berusia 20 tahun. Aini, penafsir “al Hidayah” berkata bahwa Abu Hanifah bahkan mendengar dan menerima Hadist dari Sahabat.

Abu Hanifah pertama kali dididik sebagai pedagang seperti nenek moyangnya; namun tak lama kemudian dia mulai berniat mendalami pendidikan.Selama ini, Sejarah Islam tengah tersebar luas oleh para ulama dan imam. Tabiin yang besar seperti Al-amzai di Syria, Hammad al-bashrah, Sufyan Al-Tsauri di kuffah, Malik bin Anas di Madinah, dan laits di Mesir.[2]

b. Ijtihad Abu Hanifah

Sumber syariat Islam bagi Abu Hanifah adalah Al-Quran dan Al-Sunnah/Al-Hadist, seperti juga ulama lain. Tentang al-hadits, Abu Hanifah sangat berhati-hati menerimanya. Tidak setiap yang disebut hadits lengsung diterima sebagai sumber syariat islam. Ia tidak menerima berita dari Rasulullah kecuali berita yang diriwayatkan oleh jamaah dari jamaah, atau berita yang disepakati oleh fuqoha suatu negeri dan diamalkan; atau berita ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam dalam jumlah banyak(tetapi tidak mutawatir) yang dipertentangkan. Banyak berita ahad yang ditolaknya karena tidak memenuhi criteria tersebut.Apalagi, hadist yang tidak masuk diakalnya.[3]

Ada banyak hadits yang disampaikan kepadanya kemudian ditolaknya. Misalnya:[4]
  1. Abu Hanifah menolak hadits yang maksudnya, Nabi mengadakan undian terhadap istri-istrinya bila hendak bepergian. Alasanya, undian termasuk perjudian.
  2. Ia juga menolak sebuah hadist yang menyatakan bahwa penjual dan pembeli itu mempunyai hak khiyar sebelum berpisah (dalam fiqh dikenal khiyar majlis). Menangapi hadist ini ia mengatakan, kalau sudah terjadi jual-beli tidak ada lagi khiyar. Bagaimana kalau jual beli itu diperahu, atau di perjalanan yang sama, atau di ruang penjara ?bagai mana mereka berpisah?
  3. Ibn Abi Syaibah dalam sebuah Mushanaffnya meriwayatkan hadist bahwa Nabi merajam pria dan wanita yahudi karena zina. Lalu disebutkan bahwa Abu Hanifah menolak hadits itu karena tidak percaya bahwa rajam itu diberlakukan kepada mereka. Alasanya, untuk dirajam ada dua syarat, islam dan mushah/mushannah.

Dari beberapa contoh itu dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang hadist dapat meyakinkan Abu Hanifah sebagai berasal dari Nabi. Dalam penolakanya atas hadist-hadist ia berkata, “ penolakan saya atas seorang yang bercerita tentang berita dari Nabi, selain Al-Quran, bukan dimaksudkan menolak Nabi dan bukan pula mendustakan Nabi. Tetapi penolakan atas orang yang membawa berita bohong atas nama nabi.” Dengan demikian sebenarnya abu hanifah termasuk pendukung hadits dan punya andil besar dalam menyelamatkan hadist nabi dari kepalsuan.

Sebagai diketahui bahwa abu hanifah imam ahlur ray, dalam menghadapi nas al-Quran dan al-Sunnah, ia berusaha menangkap pesan diballik nas. Maka ia di kenal ahli di bidang ta’alil al-hakam dan qiyas. Dari pendirianya itu ia memunculkan teori istihsan.

Rasionalitas keputusan fiqihnya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut:[5]

Abu Hanifah pernah ditanya “apa pendapatmu hokum minum dengan wadah gelas yang sebagian sisinya terdpat perak ? ia mmenjawab “tidak mengapa” dintanya lagi “bukankah minum dengan wadah emas dan perak di larang oleh nabi?” ia menjawab, “ Apa pendapat anda melintasi saluran air, dalam keadaan haus kemudian air itu dengan meciduknya dengan taganmu yang disalah satunya terdapat cincin emas?” penannya menjawab, “tidak mengapa”, “begitulah” kata Abu Hanifah.

Karena pendirianya itu banyak ulama hadits dan fiqh menilainya sebagai orang yang mendahulukan akal/ra’y dan qiyas atas hadits Nabi, sikap mana digolongkan mengikuti hawa nafsu.kendati Abu Hanifah dikenal sebagai imam madzhab fiqh tetapi tidak ada kitabnya satu pun yang sampai kepada kita. pandangan-pandaganya, sperti kitab al-a’lim wa al- muta’alim, kitab al-radd’ al-qadariyah, dan lain-lain, tidak ditulis dalam kitab fiqh.Tetapi murid-muridnya telah berusaha menjaganya dan meriwayatkannya dalam bab-bab fiqh.

c. Sahabat dan Murid-murid Imam Abu Hanifah

Murid atau sahabat Abu Hanifah yang terkenal adalah AbuYusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari (113-182H), Muhammad ibn al-Hasan al-Syabani(132-189H). Zufar ibn hudzail ibn Qais al-Kufi (110-145H), dan al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’i (204H).[6]

1) Abu Yusuf

Dia lahir pada tahun 113 H merupakan putra dari seorang buruh kecil. Imam Abu Hanifah yang selalu membantu kenangannya untuk meringankan permasalahanya. Setelah imam Abu Hanifah wafat ia di angakat menjadi qodhi pada tahun166 H oleh Khalifah al-Mahdi. Oleh harun Al-Rasyid dia diangkat sebagai Qadhi Al Quddat, Qodhi tertinggi. Sebagai seorang ulama yang cakap selain menguasai fiqh, ia juga menguasai hadits dengan baik.

2) Muhammad ibn al-Hasan al-Syabani

Ia lahir pada 132 H, di irak utara, ia menimba ilmu dari Abu Hanifah kendati tidak lama. Ketika Abu Hanifah wafat, usia tokoh ini 18 tahun. Disamping itu, ia juga belajar kepada Abu yusuf. Seperti Abu Yusuf, Al-Syaibani juga sempat melawat ke madinah selama 3 tahun, berguru pada imam Malik, juga untuk mengabungkan teori fiqh Irak dan Hijaz. Di masa Harun Al-Rasyisd, al Syabani di angkat menjadi hakim.Keahlianya yang khusus adalah perhitungan pembagian warisan.[7]

Ada 6 kitab karyanya yang terkenal, al-Mabsuth, al-Jami’ al Khabir, al-Jami’ al-Shagir, al-Syiyar al-Kabir, al-Syiyar al-Shagir, dan al-Ziyadat.Kesemuanya adalah kumpulan dalam satu kitab bernama al-Kafi oleh al-Hakim al-Syahid.

2. Biografi Imam Malik bin Anas

Imam Malik bin anas dilahirkan pada saat menjelang berakhirnya periode sahabat nabi SAW di madinah, kota Nabi (Madinah al-Rosul) dan kota “pusat kecerdasan” yang merupakan pusat pengajaran Islam pada masa tersebut, karena para murid sahabat yang dikenal sebagai Tabi’in dan menjadi ulama besar dalam berbagai bidang pengajaran islam datang ke kota ini, dari berbagai kawasan dunia muslim.[8]

a. Awal Kehidupan Imam Malik bin Anas

Imam malik berasal dari keluarga bangsawan Arab Hummair dari Yaman yang tinggal di Madinah setelah tersyiarnya islam, karena keluarga Imam Malik memang terkenal dengan kedermawanan dan sifat-sifat baik laainya sebelum masuk islam, maka mereka menjadi masyhur setelah memeluk islam.[9]

Jasanya terhadap islam akan selalu dikenang dalam sejarah islam sepanjang masa. Nama kecil (kummiyah) Imam Malik adalah Abdullah, namun setelah ia terkenal sebagai ulama besar di madinah, orang-orang lebih suka menyebutnya “Imam Dar Al-Hijrah”(Pemimpin Negri Hijrah yang berarti pemimpin para pemikir di madinah). Saat kelahiran Imam Malik merupakan masa pemerintahan Daulat Bani Umayyah di pimpin Walid bin Abd Al-Malik, khalifah Bani Umayyah ketiga yang wilayahnya telah meluas sampai ke spanyol di eropa, Magrib di afrika, dan India di Asia. Meskipun Madinah tak berfungsi lagi sebagai ibu kota Negara, ia tetap mengandung peran rohani dan pendiidikan seperti halnya pada masa kehidupanya Nabi SAW. Islam telah tersebar luas, dan semangat para ulama Muslim sama besarnya, baik Arab maupun bukan Arab, mereka datang dan tinggal di madinah untuk belajar dan mengahdiri majlis para ulama terkenal sperti imam Malik bin Anas.

b. Ijtihad Imam Malik bin Anas

Seperti Imam-imam lain, imam malik menempatkan al-Quran sebagai sumber hokum pertama, kemudian al-Hadist, sedapat mungkin hadits-hadist ahad sebagai dalil syar’i kalau memang tidak ada dalil lain yang lebih kuat. Ia tetetap ketat dalam seleksi hadits. Dalam kaitan ini Imam Malik berkata bahwa ilmu itu tidak di ambil dari empat jenis orang, sebagai berikut. Pertama dari orang safih, kedua dari orang yang senang mengikuti hawa nafsu, ketiga dari pendusta, dan keempat dari orang yang meskipun salih dan ahli beribadah tetapi tidak mengerti apa yang dibawa dan diceritakannya.[10]

Dalam pemikiran Imam Malik dikenal apa yang disebut “amal al-Madinah” yaitu perilaku sehari-hari penduduk Madinah. Disini penduduk madinah di tempatkan sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Rasul, Naskh dan Mansukhnya. Apabila penduduk madinah itu sepakat tentang sesuatu perilaku, maka kesepakatan ini lebih tinggi nilainya disbanding qiyas dan khabar ahad (kendati sahih sanad). Kalaupun bukan kesepakatan, perilaku mayoritas, karena kesepakatan orang banyak nilainya sama dnegan periwayatan mereka.

Diantara langkah penting yang ditawarkan oleh Imam Madzhab malik dalam berijtihad adalah pengunaan al-maslahah al-mursalah.maslahahmenurut bahasa artinya kepentingan,kebaikan. Al-mursalah artinya bebas, tak terbatas, tidak terikat.Maka al-maslahah al-mursalah artinya kepentingan, kebaikan yang diperoleh secara bebas.Teori al-maslahah al mursalah diilhami oleh satu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudharatan. Menurut Imam Malik, kepentingan bersama merupakan sasaran syariat Islam. Semua produk hokum memprioritaskan kepentingan bersama atas kepentingan lain.

Untuk menerapkan al-maslahah al-musalah diperlukan 3 syarat[11] :
  1. Persoalan yang diijtihadkan harus sesuatu yang menyingung persoalan-persoalan hubungan kemanusiaan, sehingga kepentingan yang termasuk di dalamnya dapat ditafsirkan akal.
  2. Kepentingan tersebut harus sejalan dengan jiwa syariat dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunah.
  3. Kepentingan itu bersifat Dhaury, bukan Hajji dan bukan Tahsini. 

Diantara contoh keputusan hokum yang didasarkan al-maslahah al-Mursalah adalah:
  1. Pengenaan pajak bagi orang kaya untuk membiayai angkatan bersenjata dan melindungi Negara.
  2. Hukuman bagi tindak criminal dengan mencabut kekayaan pelaku jika tindak criminal ditopang oleh kekayaannya.
  3. Jika dalam satu peperangan orang kafir melindungi diri mereka dengan mengunakan tawanan perang muslim sebagai tameng, diperkirakan tanpa merusak tameng musuh tidak dapat ditaklukkan, maka atas dasar kepentingan umum yangbersifat dhauri membunuh orang muslim yang dijadikan tameng tersebut diizinkan. Tindkan ini dimaksudkan melindungi kepentingan ummat Islam keseluruhan.[12]

Karena tindak hokum tersebut tidak mengunakan dalil Syar’i dan Qiyas maka ia dimasukaan dalam al-maslahahal-mursalah. Dengan teori al maslahah al mursalah maka sebenarnya madzhab Maliki tidak begitu terikat oleh pemikiran fiqh Ahlul Hadist generasi sebelumnya, seperti juga yang dikembangkan secara konsisten oleh Ahmad bin Hambal, dan secara kaku oleh Mazhab Zhahiri.

c. Murid-murid dan penerus Madzhab Malik

Murid –murid dan penerus Imam Malik yang berasal dari mesir :
  • Abu Abdillah abd al-rahman bin al-Qasim al-Utaqi (w.191 H).
  • Abu Muhammad Abdullah bin Wahhab bin Musllim (w.197 H).
  • Abdullah ibn Abdul Hakam (w.314 H). 

Pelanjut Mazhab Maliki di afrika utara dan spanyol :
  • Isa bin Dinar al-Qurtubi (w.212 H).
  • Asad bin Al-Furat (142-217 H).
  • Dan lain-lain. 

Ulama fiqh Mazhab Maliki yang terkenal sesudahnya :

  • Abu al-Walid al-Bani (403-474 H).
  • Abu Hasan al-Lakhmi (498 H).
  • Ibn Rusyd al-Hafidz (520-595 H).

Ulama penulis Ushul Fiqh terkenal dalam madzhab ini adalah al-syatibi, abu ishaq Ibrahim al-lakhmi al-ghurnati (w.790 H). buku ushul fiqhnya yng terkenal adalah al-Muwafaqat fi ushul al-ahkam dan al-I’tisham.[13]

3. Biografi  Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i

Abu Muhammad Abd Al-Rahman bin Abi Hatim Al-Razi yang meningal pada tahun 327 H/938M adalah pencatat biografi imam Al-Syafii paling awal dan terperinci yang berkata bahwa Muhammad idris al-Syafi’i dilahirkan di Gaza, Sedangkan penulis lain berkata bahwa ia dilahirkan di kota Aslaqan, tak jauh dari Gaza, pada tahun 150H/767M. Dia berasal dari suku Quraisy, dan dengan demikian merupakan anak cucu keturunan Nabi Muhammad SAW.Setelah ayahnya wafat, ibunya membawa ke palestina, tinggal pada keluarga yaman, daerah asal nenek moyangnya.Kemudian dia berjalan ke Mekkah bersama al-syafii, sewaktu anaknya itu berusia sepuluh tahun.Sejak masa kanak-kanaknya Al-Syafii telah menunjukakn kecerdasan akal serata daya ingatnya yang mengagumkan. [14]

a. Awal kehidupan Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i

Sebagai seorang anak, Syafi’i adalah seorang putra yang cerdas dan cemerlang, selalu giat belajar ilmu-ilmu keislaman yang azasi. Seperti halnya setiap anak muslim pada masa itu, dia mulai dengan belajar al-Quran dan “ahtam” (tamat) menghapalnya pada usia menjelang tujuh tahun. Dia meningal di mekah menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, seorang ulama dari Fuqaha termasyhur disana pada waktu itu. Ia melanjutkan pelajaranya itu bersama Imam Malik pada usia 20 tahunsampai gurunya meningal pada tahun 179 H/796 M. Pada masa wafatnya Imam malik, Al-syafi’I telah meraih reputasi sebagai seorang fuqaha yang masyhur di Hikaz dan berbagai tempat lain.[15]

b. Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i di Iraq

Ketika gubernur Jaman mengunjungi Madinah, dia sangat terkesan dengan kedalaman ilmu Al-Syafi’I sehingga dia membujuk agar menduduki jabatan di pemerintahan sebagai seorang administrator yang diterima dan dilaksanakan Al-Syafi’I dalam tempo singkat. Kita pun tahu bahwa Al-Syafi’I segera saja menanggapi pertentangan dengan para pejabat pemerintahan sehingga ia diasingkan di Iraq dengan belenggu yang berat pada tahun 187 H/830 M. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun al-rasyid dari dinasti Abasiyah.

Dengan pengalaman pahitnya yang lalu bekerja di pemerintahan, maka menyatakan dengan tegas tak akan memangku jabatan di pemerintahan lagi, meskipun ia telah dilindungi oleh khalifah.

Al-Syafi’i yang telah belajar dengan mendalam kepada Imam Malik membuatnya ahli dalam pemikiran madzhab Maliki, namun kini di Baghdad, dia telah memperoleh suatu kesempatan baru untuk mendalami mazhab Hanafi dan berdiskusi bersama mereka tentang berbagai masalah hokum untuk mempertahankan kedudukan gurunya, imam Maliki, dan menjadi ternama sebagai seorang pembela hadist. Dengan demikian, Al-Syafi’I memiliki keistimewaan dalam mempelajari secara mendalam baik paham Maliki maupun Hanafi.

c. Ijtihad Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i

Menurut Syafi’i, tata urut sumber hukum islam adalah[16] :
  1. Al-Quran dan Al-Sunnah.
  2. Bila di sana tidak ada, ia berpindah kepada ijma’
  3. Pendapat yang kuat dari para sahabat nabi yang bila mereka berbeda pendpat.
  4. pendapat sebagian sahabat nabi yang tidak diperselisihkan
  5. Al-Qiyas. 

Al-Sunnah disejajarkan dengan al-Quran karena keduanya tercakup dalam pengertian wahyu dalam pengertian wahyu. Namun, ia mengaku bahwa al-sunnah itu tidak sekuat al-Quran. Al-sunnah tidak akan pernah bertentangan dengan al-quran. Bila ditemukan teks al-Quran bertentangan dengan al-sunnah, sesuai dengan teorinya bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-quran, maka al-quran harus di tafsirkan dari sudut al-sunnah. Dengan demikian yang dimaksud al-sunnah adalah yang telah dibuktikan meyakinkan berasal dari nabi; tidak lain kecuali hadits sahih. Hanya saja, ukuran bahwa sebuah riwayat itu sahih adalah apabila sanadnya sahih.

Menurut imam Syafi’i, sumber syariat sesudah al-Quran dan al-Sunnah adalah ijma’. Dimaksudkan dengan ijma’ disini adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama. Teori ijma’ Imam Syafi’I tentunya sulit diwujudkan kalau tidak hendak dikatakan tidak mungkin. Dengan demikian doktrinnya tentang ijma’ bersifat negative, Artinya, ia dikemas untuk menolak otoritas kesepakatan yang hanya terjadi di satu tempat. Karena sullitnya maka imam Syafi’I berpendapat bahwa kesepakatan para sahabat adlah kesepakatan yang paling kuat.

d. Murid-Murid Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i

Diantar pengkut yang terkenal adalah
  • Imam al-Ghazali,Abu Hamid (w. 505 H).
  • Abu Ishaq al-Fairuzzabadi (w. 476 H).
  • Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Jizi (w. 256 H).[17]

4. Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal

Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dilahirkan di marwa, pada tanggal 20 rabiul awwal tahun 164 H. Ayahnya, Muhammad, terkenal sebagai seorang pejuang yang tinggal di Bashrah, Iraq. Dikatakan bahwa ketika ayahnya pergi ke Marwa sebagai seorang ghasi, imam Ahmad dilahirkan sewaktu dia tinggal sementara disana, ketika masih bayi, dia dibawa ke Baghdad tempat ayahnya meningal dalam usianya yang sangat dini, 30 tahun. Maka dengan demikian seluruh tangung jawab membesarkanya terbebankan pada ibunya, Shafiyah binti Maimunah binti Malik Al-Syaibani.[18]

a. Awal kehidupan Imam Ahmad Bin Hanbal

Ahmad bin Hambal adalah seorang anak yang cerdas dan bersifat ingin tahu, sangat bersemangat untuk melanjutkan pelajaranya. Dimulai dengan belajar khazanah Hadits pada tahun 179 H; ketika dia baru berusia 16 tahun. Dikatakan bahwa dia menjadi ulama Hadist yang besar sedemikian rupa sehingga dia hafal hamper 1juta hadits. Oleh karna itu di mendasarkan pendapat hukumnya atas Hadits semata, dan menjadi seorang ulama terkemuka pada masanya dan sampai akhir zaman.

b. Langkah-langkah Ijtihad Imam Ahmad Bin Hanbal

  • Menurut Imam Ahmad, sumber hokum pertama adalah al-nushush, yaitu al-Quran dan al-Hadits yang marfu’ bila jawban atas persoalan hokum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumberlain, tidak pula mengunakan metode ijtihad.
  • Sumber yang kedua adalah fatwa para sahabat. Apabila Imam Ahmad mendapat fatwa ini dan tidak ditemukan pendapat yang berbeda denganya maka ia tidak berpaling ke ra’y atau qiyas.
  • Apabila terdapat perbedaan pendapat para sahabat maka Imam Ahmad memilih pendapat yang lebih dekat pada ajaran al-Quran dan al-Sunnah. Menurut imam Syafi’i, salah satu cara untuk mengetahui pendapat yang lebih kuat diantara kedua pendapat sahabat yang bertentangan adalah dengan qiyas tetapi hal ini dilakukan oleh Imam Ahmad.
  • Mengambil hadits mursal dan dhaif sekitarnya tidak ada dalil yang menghalanginya, dimaksudkan dengan dha’if di sini bukan dha’if yang bathil dan yang mungkar, tetapi dha’if yang tergollong sahih atau hasan. Dalam pandangan Imam Ahmad, hadits itu tidak terbagi atas shahih, hasan, dan dha’if, tetapi terbagi dua, sahih dan dhaif saja.
  • Qiyas, adalah digunakan dalam keadaan daruarat yaitu bila tidak ada “senjata” yang di sebut diatas.[19]

Dari sikapnya, bahwa qiyas ditempatkan di nomor terbelakang dan sifatnya darurat, dapat dimengerti kalau imam ahmad bin hambal dan pengikutnya dikenal sebagai pemikir literalis. Imam Syafi’I kendati sebaggai tokoh yang banyak member gambaran bagaimana berfikir dengan qiyas, tetapi tampaknya masih digolongkan lebih hati-hati, dekat kepada literalis.

c. Sahabat dan Murid-murid Imam Ahmad Bin Hanbal

  • Ibn ishaq al-Harbi (w. 285 H)
  • Abdul Aziz ibn Ja’far (w. 363 H).
  • Al-qasim, Umar bin Ali al-Husein al- khiraqi (w. 334 H).[20]

5. Imam ja’fariyah

Pendiri mazhab ini adalah imam ja’far ash-shidiq. Nama aslinya ja’far bin Muhammad al-baqir bin ali zainal abiding bin husein bin ali bin abi thalib. Sementara, ibunya masih keturunan abu bakar ash-shidiq. Dalam doktrin syiah, beliauadalah imam ke IV, beliau merupakan ilmuan terkemuka,banyak yang ia geluti, diantaranya fiqh,filsafaft,tasawuf,kimia dan kedokteran. Di dunia tasawuf, beliau mendapat maqomat yang tinggi sebagai syeh dan penemu tarikat, bahkan tarekat yang berkembang di Indonesia. Seringkali menyebut namanya untuk melakukan tawasul, muridnya yang terkemuka yaitu jabir bin hayyan, seorang ahli kimia dan kedokteran selain dari imam malik, at-tsaury, ibnu unayyah,fadhail ibn iyad dan para perawi hadist.

Menurut madzhab ini yang menjadi sumber tasyri’ pada madzhab ja’fari adalah al-Quran,Sunnah,Ijma’ dan akal. Namun orang dapat meriwayatkan sunnah hanya terbatas pada periwayatan yang dilakukan oleh ahlul bait saja, sedangkan yang menjadi objek sunnah adalah diri nabi dan para imam mereka dan yang dimaksud dengan ijma’ adalah ijma’ di kalangan mereka sendiri.

6. Imam Zhahiriyah

Didirikan oleh Imam Daud bin Ali al-ashbani.dinamakan dhahiri,karena dalam menetapkan hukum lebih cenderung berdasarkan kepada arti literal dari nash. Mazdhab ini pernah berkembang dispanyol sekitar abad V H yang dikembangkan oleh Ibn Hazm. Pada mulanya, Daud Adh-Dhahiri bermadzhab syafi’iyah, namun karena imam syafi’iyah berpendapat bahwa nash dapat dipahami secara tersurat dan tersirat, sedangkan menurut Daud, syariah itu terkandung hanya dalam nash, tidak ada wilayah ra’yu dalam syariah, maka ia keluar dari madzhab syafi’iyah dan mendirikan madzhab baru. Demikian juga tentang qiyas, Daud tidak menerima qiyas, sementara syafi’I memakainya.

Funadmentalis seperti Dzahiriyah ini akibat dari derasnya arus pemikiran lliberal yang dikembangkan oleh madzhab rasional, dan yang dikembangkan oleh Dzahiri sendiri adalah ad-Dalil.

B. Dasar-Dasar Pemikiran Masing-Masing Madzhab

Ada hal yang mendasar yang menyebabkan timbulnya aliran, baik dalam ilmu Fiqh maupun Ilmu Kalam: persepsi tetang fungsi akal disamping wahyu dan sikap terhadap wahyu. Kebebasan berfikir ulama Irak melahirkan istihsan sebagai metode menjawab masalah hukum yang baru.

Aliran teologi yang memberi porsi akal lebih banyak adalah mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Washil bin Atha’ yang pengembangannya du kuffah - tempat dimana Abu Hanifah, ulama fiqh ahlur roy – dan Basrah, dekat Irak.

Imam Abu Hanifah hidup satu masa dengan Washil bin Atha’. Dilingkungan mereka berkembang pemikiran rasional dalam memahami ajaran agama.Agaknya, ini merupakan pangkal munculnya teologi rasional mu’tazilah dan ahlur ra’y dalam ilmu fiqh.Dengan demikian, diantara aliran ilmu fiqh ahlur ra’y dengan aliran teologi rasional tidak saling mempengaruhi.[21]

Imam Syafi’i yang amat berhati-hati menggunakan Qiyas terkesan tidak memberi porsi banyak kepada akal, sehingga ia tidak dikelompokkan sebagai ulama fiqh ahlur ra’y. Dalam teologi, aliran yang menunjukkan ketawadhu’an dengan tidak memberi porsi banyak kepada akal adalah aliran Asy’ariyyah.Namun demikian, Imam Syafi’i (757-829 M) jauh lebih tua dibanding Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M), pendiri alairan teologi Asy’ariyyah.Abu Hasan sendiri mengaku bermazhab Syafi’i dalam ilmu fiqh.Ini juga menunjukkan bahwa pemikiran fiqh imam Syafi’i tidak dipengaruhi oleh teologi Asy’ari.Malahan boleh jadi, teologi yang dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari dipengaruhi oleh dasar pemikiran al-Syafi’i.

Dalam perkembangan selanjutnya, ulama fih pasca imam-imam mazhab membangun langkah pemikiran fiqh, mulai dengan fungsi akal dan wahyu.Al-Ghozali misalnya, melihat pentingnya mendudukkan persoalan ini. Karena ia menempatkan persoalan al-tahsin wa al-taqbih (penilaian baik dan buruk) pada bagian awal bukunya al-Mustashfa. Disana dikatakan bahwa akal tidak dapat diandalkan mencapai hakikat baik dan buruk.Baik dan buruk hanya diketahui melalui informasi wahyu.Sebagai penganut teologi Asy’ari, al-Ghozali konsisiten memberi porsi akal kecil.Agaknya, sikap ini berpengaruh kepada pemikiran fiqhnya.

Ulama besar yang hidup sesudah al-Ghozali, seperti al-Amidi (w. 631 H), memiliki dasar pijakan yang sama dengan al-Ghozali. Al-Amidi mengatakan, “Kalian harus mengetahui bahwa tiada hakim kecuali Allah, dan tiada hukum kecuali hukuman-Nya.Konsekuensinya, akal tidak dapat menyatakan apakah segala sesuatu itu baik atau buruk, dan bahwa akal tidak dapat mengharuskan sikap kesyukuran kepada yang melimpahkan rahmat.Sesungguhnya tidak ada peraturan sebelum syari’ah diwahyukan”.[22]

Prinsip senada juga dikemukakan al-Syathibi (w. 790 H).dengan tegas ia menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa akal mempunyai peranan penting, baik didalam membuat hukum maupun didalam merumuskan kewajiban-kewajiban moral,[23] walaupun ia sendiri telah banyak mengarahkan akal pikirannya untuk menetapkan aghradh al-syari’ah.

Makalah Biografi dan Dasar Pemikiran Imam Madzhab-

Madzhab Hanafi pertama kali didirikan oleh Nu’man bin Tsabit bin Inta bin Mah, seorang Sarjana Ajam (bukan Arab) yang lebih di kenal dengan kumyahnya “Imam Abu Hanifah” (wafat tahun 150 H) di Kufah, Iraq.

Imam Malik bin anas dilahirkan pada saat menjelang berakhirnya periode sahabat nabi SAW di madinah, kota Nabi (Madinah al-Rosul) dan kota “pusat kecerdasan” yang merupakan pusat pengajaran Islam pada masa tersebut, karena para murid sahabat yang dikenal sebagai Tabi’in dan menjadi ulama besar dalam berbagai bidang pengajaran islam datang ke kota ini, dari berbagai kawasan dunia muslim.

Muhammad idris al-Syafi’i dilahirkan di Gaza, Sedangkan penulis lain berkata bahwa ia dilahirkan di kota Aslaqan, tak jauh dari Gaza, pada tahun 150H/767M. Dia berasal dari suku Quraisy, dan dengan demikian merupakan anak cucu keturunan Nabi Muhammad SAW.Setelah ayahnya wafat, ibunya membawa ke palestina, tinggal pada keluarga yaman, daerah asal nenek moyangnya.Kemudian dia berjalan ke Mekkah bersama al-syafii, sewaktu anaknya itu berusia sepuluh tahun.

Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dilahirkan di marwa, pada tanggal 20 rabiul awwal tahun 164 H. Ayahnya, Muhammad, terkenal sebagai seorang pejuang yang tinggal di Bashrah, Iraq.

Saran

Demikianlah Makalah Biografi dan Dasar Pemikiran Imam Madzhab yang kami buat, kami mohon kritik dan sarannya karena masih banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari segi isi maupun susunannya.Semoga dapat meemberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi pembacanya. AMIN

DAFTAR PUTAKA

  • Zuhri, Muh, Dr. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, Cet. II. 1997
  • Rohman, Abdur, Prof., Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta: Jakarta. Cet. I, 1993
  • Asy-Syathiri, Ahmad, bin, Muhammad, Sayyid.Persatuan Islam, Lentera: Jakarta. Cet. I. 1995
  • Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo, Juz I, 1914
  • Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, juz I, 1341 H 

  1. Prof. Abdur Rahman, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), 1993. Hal. 136
  2. Ibid, h. 137
  3. Dr. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1997,h .98
  4. Ibid. h.99
  5. Ibid. h.100
  6. Prof. Abdur Rahman, op. cit., h. 143
  7. Ibid, h. 104
  8. Prof. Abdur Rahman, op. cit., h. 144
  9. Ibid, h 145
  10. Dr. Muh. Zuhri, Ibid, h. 106
  11. Ibid, h. 107
  12. Ibid, h. 107
  13. Ibid, h. 111
  14. Prof. Abdur Rahman, op. cit., h. 159
  15. Ibid, h. 160
  16. Dr. Muh. Zuhri, op. cit., h. 113
  17. Ibid, h. 122
  18. Prof. Abdur Rahman, op. cit., h. 165
  19. Dr. Muh. Zuhri, op. cit., h. 123-125
  20. Ibid, h. 125
  21. Ibid, h. 144
  22. Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo, 1914, Juz I, h.113
  23. Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, 1341 H, juz I, h. 19

Post a Comment

Silahkan di Share kalau dianggap bermanfaat

 
Top